Bahan Literasi Rabu, 26 November 2025
Setelah membaca bahan literasi hari ini, berikan tanggapanmu terkait topik tersebut.
Bagaimana Pendapat Kalian, terkait artikel tersebut?
Selamat Berliterasi!
Pahlawan Sejati Bernama Guru: Menari di Tengah Badai Realita Pendidikan Masa Kini
Oleh: AS
Setiap tanggal 25 November, kita merayakan Hari Guru Nasional. Sebuah hari untuk mengenang jasa-jasa tanpa batas dari mereka yang telah mendedikasikan hidupnya untuk mencerdaskan bangsa. Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan benar-benar melihat, bagaimana rupa perjuangan seorang guru di tengah riuhnya realita pendidikan Indonesia hari ini?
Menjadi guru di era modern ini jauh berbeda dari bayangan romantisme dalam film-film. Jika dulu guru hanya dituntut mengajar, kini tuntutannya seluas samudra, dan kadang, seluas pekerjaan rumah yang menumpuk.
Bukan Hanya Mengajar: Tumpukan Tugas Administratif
Coba bayangkan Ibu Rina (bukan nama sebenarnya), seorang guru honorer mata pelajaran Bahasa Indonesia di sebuah SMP negeri di pinggiran kota. Sebelum lonceng berbunyi, tugas pertamanya bukanlah menyiapkan materi pelajaran, melainkan berjibaku dengan tugas administratif.
Mulai dari membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang harus menyesuaikan dengan kurikulum yang kerap berganti, mengisi data di berbagai aplikasi daring, hingga membuat laporan kemajuan siswa. Semua itu menumpuk di atas meja kerjanya yang seringkali hanya berupa meja bekas. "Rasanya seperti jadi admin sekaligus pengajar," keluh Bu Rina suatu kali. Waktu yang seharusnya bisa dipakai untuk merancang metode mengajar yang kreatif, habis untuk menyelesaikan deadline laporan yang tak ada habisnya. Ini adalah realita pahit yang dialami banyak guru, di mana nilai-nilai di atas kertas terkadang terasa lebih penting daripada interaksi tulus di dalam kelas.
Kesejahteraan dan Status yang Menggantung
Realita lain yang paling menusuk adalah masalah kesejahteraan, khususnya bagi para guru honorer—tulang punggung pendidikan di banyak sekolah.
Bu Rina, setelah mengabdi lebih dari sepuluh tahun, masih menerima gaji yang—jujur saja—jauh dari kata layak. Upahnya seringkali hanya cukup untuk biaya transportasi dan sesekali membeli pulsa data. Ia harus pintar-pintar memutar otak: memberikan les privat sepulang sekolah atau bahkan berjualan online untuk menambal kebutuhan hidup keluarga.
Perjuangan ini semakin berat dengan ketidakpastian status kepegawaian. Setiap ada wacana pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), muncul harapan besar, tetapi juga ketakutan baru. Peraturan yang sering berubah, persaingan yang ketat, hingga skema kerja paruh waktu yang sempat mencuat, membuat mental para guru honorer ini diuji habis-habisan. Mereka mengajar dengan hati, tetapi sistem seringkali membalasnya dengan ketidakpastian.
Tantangan Generasi Z dan Era Digital
Di dalam kelas, Bu Rina menghadapi tantangan yang tak kalah kompleks: Generasi Z dan era digital. Siswa hari ini sudah "akrab" dengan informasi yang bergerak sangat cepat. Mereka lebih mudah bosan, dan perhatian mereka sering terpecah antara buku pelajaran dan notifikasi dari smartphone di saku mereka.
Bu Rina tahu, ia tidak bisa mengajar dengan cara yang sama seperti 20 tahun lalu. Ia harus bertransformasi menjadi seorang 'guru digital'. Mulai dari belajar membuat presentasi interaktif, memanfaatkan platform belajar online, hingga memahami istilah-istilah gaul agar bisa nyambung dengan murid-muridnya.
"Saya harus belajar lagi, seolah saya kembali menjadi murid," ucapnya sambil tersenyum. Perjuangan ini menuntut mereka untuk terus meningkatkan kompetensi (pelatihan sana-sini), seringkali dengan biaya dan usaha sendiri, hanya agar ilmu yang mereka sampaikan tetap relevan di tengah banjir informasi.
Bukan Hanya Mengajar Ilmu, Tapi Juga Mengurus Jiwa
Namun, di balik semua beban administratif, tantangan teknologi, dan masalah gaji, inti dari perjuangan seorang guru tidak pernah berubah: mengurus jiwa.
Hari ini, guru bukan lagi sekadar penyampai materi. Mereka adalah konselor dadakan. Mereka menghadapi murid dengan berbagai masalah kompleks: kecanduan game daring, cyberbullying, masalah ekonomi keluarga, hingga kesulitan mental.
Bu Rina sering menghabiskan jam istirahatnya hanya untuk mendengarkan curhatan seorang murid yang kesulitan di rumah. Ia harus menjadi pendengar yang sabar, mediator yang adil, dan kadang, figur orang tua pengganti. Di tengah kelas yang heterogen, ia harus menemukan cara agar setiap murid, termasuk yang berkebutuhan khusus, merasa dilihat dan dihargai. Guru kini menjadi agen peradaban yang dituntut serba bisa untuk menyelesaikan kompleksitas masalah murid yang semakin berat.
Secercah Harapan dan Keikhlasan
Meskipun dihantam badai realita, semangat Bu Rina dan guru-guru lain tidak pernah padam. Di Hari Guru ini, kita diingatkan bahwa profesi ini tetaplah profesi yang dipilih dengan cinta dan pengabdian.
Perjuangan mereka adalah tentang inovasi di tengah keterbatasan—mengajar di ruang kelas seadanya, menggunakan alat peraga buatan sendiri, dan membangun komunitas guru yang saling mendukung. Perjuangan mereka adalah tentang ketulusan—senyum tulus murid yang berhasil memahami materi, atau kabar kesuksesan dari alumni yang berterima kasih, adalah 'gaji' tak ternilai yang membuat mereka terus bertahan.
Mereka adalah pahlawan yang menari di tengah badai administrasi, menembus kabut digital, dan mengatasi keterbatasan finansial, demi satu tujuan mulia: menyalakan lentera di masa depan anak bangsa.
Di Hari Guru Nasional ini, mari kita tak hanya mengucapkan selamat, tetapi juga benar-benar menghargai perjuangan mereka. Bukan hanya melalui penghormatan simbolis, tetapi melalui sistem pendidikan yang lebih adil, apresiasi yang lebih layak, dan dukungan yang lebih nyata.
Terima kasih, para guru. Perjuanganmu adalah realita yang menginspirasi.
Komentar
Silakan login untuk memberi komentar:
LoginMenurut saya, literasi tersebut menunjukkan betapa beratnya perjuangan guru di masa sekarang. Guru tidak hanya mengajar, tetapi juga harus menghadapi tumpukan administrasi, gaji yang belum layak, serta tantangan murid generasi digital. Beban mereka semakin besar karena sering menjadi tempat curhat dan penopang emosional bagi siswa. Meski begitu, para guru tetap menjalankan tugas dengan ketulusan. Artikel ini mengingatkan bahwa perjuangan guru layak dihargai lewat dukungan nyata, bukan sekadar ucapan seremonial.
Artikel itu menjelaskan bahwa menjadi guru di masa sekarang tidak mudah. Mereka harus mengurus banyak administrasi, kesejahteraan masih belum memadai, dan dituntut terus mengikuti perkembangan teknologi serta karakter siswa generasi Z. Meski penuh tekanan, guru tetap membimbing murid dengan ketulusan, bukan hanya soal pelajaran tapi juga mental dan karakter. Karena itu, guru layak mendapat perhatian dan dukungan nyata, bukan sekadar ucapan selamat
Menurut pendapat saya, artikel “Pahlawan Sejati Bernama Guru: Menari di Tengah Badai Realita Pendidikan Masa Kini” menggambarkan betapa besar perjuangan guru di tengah kondisi pendidikan yang sering tidak ideal. Guru tetap berusaha memberikan yang terbaik meski menghadapi keterbatasan fasilitas, tuntutan kurikulum, dan tekanan sosial. Artikel ini menegaskan bahwa peran guru bukan hanya mengajar, tetapi juga membimbing, menguatkan, dan membentuk karakter siswa. Saya setuju bahwa guru layak disebut pahlawan, karena mereka tetap berdiri di garis depan pendidikan meskipun realitanya berat. Artikel tersebut mengajak kita untuk lebih menghargai guru dan memahami bahwa keberhasilan pendidikan tidak lepas dari ketulusan dan kerja keras mereka.
Menurut saya, artikel tersebut sangat menggambarkan realita berat yang dihadapi guru masa kini. Guru bukan hanya mengajar, tetapi juga dibebani administrasi, tuntutan digital, dan masalah kesejahteraan yang belum adil. Meski begitu, mereka tetap berjuang dengan ketulusan untuk membimbing murid. Artikel ini mengingatkan kita bahwa guru adalah pahlawan sejati yang tetap tegar di tengah berbagai tantangan.
Menurut saya, artikel tersebut sedang menjelaskan bagaimana kondisi pengajar saat ini yang memiliki banyak sekali tuntutan.
Artikel tersebut menggambarkan bahwa menjadi guru di masa kini bukanlah hal mudah. Guru harus menghadapi beban administrasi yang berat, kesejahteraan yang belum layak, serta tuntutan untuk terus beradaptasi dengan era digital dan karakter siswa gen Z. Meski begitu, mereka tetap menjalankan tugas dengan ketulusan bukan hanya mengajar ilmu, tetapi juga membimbing mental, emosional, dan karakter murid. Artikel ini mengingatkan kita bahwa guru adalah pahlawan sejati yang layak mendapat apresiasi dan dukungan nyata, bukan hanya ucapan selamat.
hal tersebut menggambarkan dengan jelas bahwa perjuangan guru saat ini sangat besar. Mereka tidak hanya mengajar, tetapi juga menghadapi beban administrasi, tantangan teknologi, dan kebutuhan murid yang beragam. ini mengingatkan kita untuk lebih menghargai dan mendukung guru secara nyata, karena peran mereka sangat penting bagi masa depan pendidikan.
Guru benar-benar pahlawan sejati yang harus berjuang keras "menari di tengah badai" realita pendidikan masa ini. Mereka tidak hanya mengajar, tetapi juga harus sibuk dengan tumpukan laporan, menghadapi tantangan digital, dan bahkan menjadi konselor untuk masalah siswa, namun mereka tetap semangat dan ikhlas mengajar demi masa depan kita.
Hari Guru adalah momen penting untuk mengingat bahwa kemajuan sebuah bangsa lahir dari ruang-ruang kelas yang sederhana. Bagi banyak orang, hari guru bukan sekadar seremoni tahunan, tetapi waktu untuk menghargai sosok yang sering bekerja dalam senyap: guru yang sabar membimbing, menegur, memotivasi, dan menemani proses tumbuhnya karakter peserta didik.